Ketika pembahasan menyentuh persoalan genre, maka kecenderungannya lebih dekat dengan permasalahan atau tema yang diangkat, sehingga lebih merujuk pada penceritaannya. Sedangkan tipe film lebih cenderung mengelompokkan dari pendekatan wujud yang terlihat secara kasat mata serta dapat dirasakan dampaknya oleh penonton, sehingga lebih dekat dengan gaya film seperti unsur mise en scene, sinematografi, editing dan suara.
Bill Nichols adalah orang yang mengklasifikasikan tipe–tipe film dokumenter, dikarenakan ada beberapa hal yang mirip atau sama dalam beberapa film dokumenter. Namun sebelum masuk ke dalam tipe–tipe film dokumenter, Warren Buckland memberi catatan pada asumsi banyak orang tentang dokumenter yaitu :
1. TIPE EXPOSITORY
Tipe ini yang paling klasik dibandingkan yang lain karena banyak digunakan untuk film dokumenter yang ditayangkan oleh televisi pada masa sekarang. Pada tahun 1930-an, tokoh besar dokumenter, John Grierson menawarkan sebuah betuk yang sangat berbeda dari dokumenter sebelumnya yang dianggap terlalu puitik. Tawaran tersebut adalah paparan yang berupa penjelasan (explanation) yang bersamaan dengan gambar–gambar di film. Menurutnya, dengan menggunakan paparan yang menjelaskan maka pembuat film dokumenter bisa ‘naik kelas’ dari yang semula mengangkat tema–tema propaganda sosial ke tema–tema masalah sosial di dunia. Perbedaan yang tajam dengan film dokumenter yang dianggap puitik seperti yang dibuat oleh Joris Ivens (The Bridge dan Rain) ataupun Dziga Vertov (A Man With A Movie Camera) adalah pada penggunaan aspek visual dan cara berceritanya. Dasar pemikiran dari perbedaan itu adalah penekanannya pada isi film yang cenderung retorik ataupun tujuannya yaitu penyebaran informasi secara persuasif.
Sedangkan Bill Nichols memaparkan bahwa expository memasukkan narasi (voice over commentary) dengan ‘paksaan’ yang dikombinasikan dengan serangkaian gambar yang bertujuan agar lebih deksriptif dan informatif. Narasi sendiri diarahkan langsung kepada penonton dengan menawarkan serangkaian fakta dan argumentasi yang ilustrasinya bisa didapatkan dari shot–shot yang menjadi insert-nya. Selain itu narasi ada beberapa hal yang bisa menjadi kekuatan narasi yaitu :
- Narasi dapat menyampaikan informasi abstrak yang tidak mungkin digambarkan oleh shot–shot yang disuguhkan.
- Narasi dapat memperjelas peristiwa atau action tokoh yang terekam kamera dan kurang dipahami oleh penonton.
Narasi adalah inovasi yang nyata pada film dokumenter yang memiliki kecenderungan untuk memaparkan sesuatu dengan lebih gamblang. Pada awal kemunculannya seperti sesuatu yang ada di mana-mana (omnipresent), mahatahu (omniscient) dan berupa suara objektif yang menjelaskan ilustrasi gambarnya. Narasi menjaga bobot penceritaan dan argumentasi dari kandungan retoris sebuah. Pada masa itu dokumenter puitik berkembang pesat di kalangan filmmaker sebab mampu menjadi tafsir subjektif dan estetik pada sebuah subjek visual. Tentu saja hal tersebut seperti memberi kemerdekaan bagi para filmmaker pada waktu itu.
Pada masa sekarang, sayangnya banyak pembuat dokumenter yang justru terjebak pada unsur pembicaraannya (speech) saja. Akhirnya banyak bermunculan film-film dokumenter dengan wawancara atau narasi pada ‘sekujur tubuh’ filmnya dan ilustrasi berupa shot–shotnya sekedar menjadi pemanis belaka. Tidak jarang karena kekurangan ilustrasi shot akhirnya penonton terpaksa melihat subjek–subjek yang sedang berbicara atau dikenal dengan istilah talking head. Hal ini dikarenakan banyak dari filmmaker kurang memahami subjek filmnya atau terkadang data riset yang didapat masih di permukaan permasalahan saja.
Film dokumenter dengan tipe expository ini sangat banyak kalau harus disebutkan satu per satu. Tapi setidaknya pada masa John Grierson saja ada beberapa film dokumenter dengan tipe ini yang diproduksi antara lain Drifters (1929) karya John Grierson; Coalface (1935) karya Alberto Calvacanti; Night Mail (1936) karya Harry Watt dan Basil Wright; North Sea (1938) karya Harry Watt; Song of Ceylon (1939) karya Basil Wright; dan Spare Time (1939) karya Humprey Jennings. Sedangkan di Indonesia juga sudah sangat banyak diproduksi film–film dengan tipe seperti ini misalnya Bye Bye Buyat (2005) karya Kang E, Trimbil lan Bratil (2006) karya Tomy Widiyatno Taslim, Mothers Tears (2004) karya Toni Trimarsanto; Gerakan Mahasiswa / Student Movement (2002) karya Tino Saroenggaloe dan sebagainya. Bahkan sudah banyak film dokumenter yang diproduksi televisi yang mengadopsi tipe ini karena dianggap lebih memungkinkan untuk diproduksi. Selain pengemasan datanya dianggap lebih mudah dibandingkan tipe lain, juga waktu produksinya lebih bisa diukur. Beberapa film dokumenter televisi itu adalah Metro Files yang banyak mengulas tentang peristiwa bersejarah di Indonesia.
2. TIPE OBSERVATIONAL
Film dokumenter observational merupakan film yang filmmaker-nya menolak untuk mengintervensi objek dan peristiwanya. Mereka berusaha untuk netral dan tidak memberi menghakimi subjek atau peristiwanya. Tipe ini juga menolak menggunakan narasi (voice-of-god), komentar dari luar ruang cerita, wawancara, bahkan menolak penggunaan tulisan panjang yang menjelaskan adegan (intertitles) seperti yang digunakan Robert Flaherty dalam film Nanook of the North. Penekanannya untuk memaparkan potongan kehidupan manusia sceara akurat atau mempertunjukkan gambaran kehidupan manusia secara langsung. Cara ini dipergunakan sebagai observasi sederhana untuk mereka bentangan peristiwa yang ada di depan filmmaker-nya. Dengan bahasa sederhana, filmmaker tidak ikut campur terhadap subjek atau peristiwa yang ada di depannya dan ia hanya merekam dengan kameranya dan alat perekam suaranya. Hal inilah yang membuat tipe observational dikenal dengan Direct Cinema yang akhirnya menjadi sebuah gaya dalam film dokumenter.
Secara teknis bila didalami saat merekam subjeknya, filmmaker-nya lebih banyak menggunakan teknik long take karena kamera menangkap gambar secara kontinyu dan tanpa terpenggal. Suaranya pun akan diperlakukan sama dengan apa yang dilakukan oleh kameranya. Dalam editingnya pun log take shot sering dibiarkan dan terkadang hanya menggunakan beberapa pemotongan saja.
Seperti yang dilakukan oleh Frederick Wiseman saat membuat film High School yang mengangkat keseharian di sebuah sekolah di Philadelphia tahun 1968. David Bordwell dan Kristin Thompson menyebutkan bahwa ketika membuat High School, Frederick Wiseman memperlihatkan interaksi dan konflik antara guru dan murid yang kebanyakan alasannya karena pemberian sanksi oleh guru–guru di sekolah. Gambaran pendidikan yang ‘kejam’ dalam film ini seperti merepresentasikan sistem pendidikan di Amerika Serikat. Walaupun Frederick Wiseman tidak bermaksud menjadikan film ini sebagai film politik, namun banyak politikus dan pengamat politik menganggap bahwa film High School ini bemuatan pemikiran sosialisme.
Selain itu ada Donn Alan Pannbaker yang mengikuti perjalanan Bob Dylan ke Inggris dalam rangka konser musiknya di sana Pannebaker mengemasnya menjadi film Don’t Look Back (1967). Begitu pula yang dilakukan oleh Robert Drew ketika membuat Primary (1960) dengan mengikuti safari politik / kampanye dari John F. Kennedy and Hubert Humphrey.
3. Tipe Interactive
Bila ditilik dari sejarahnya, tipe interctive pernah menjadi bagian dari film A Man With A Movie Camera karya Dziga Vertov, di mana dia memasukkan adiknya, Mikhail Kaufman (sinematografer) dan isterinya, Elizaveta Svilova (editor) ke dalam frame film tersebut sehingga penonton bisa melihat kehadiran mereka.
Tipe dokumenter interactive menjadi kebalikan dari dokumenter observational, di mana pada observational, filmmaker tidak pernah atau tidak boleh tampak di dalam filmnya. Sedangkan tipe interactive, filmmaker-nya menampakkan diri secara mnyolok di layar dan sering melibatkan diri pada peristiwa serta berinteraksi dengan subjeknya. Aspek utama dari dokumenter interactive adalah wawancara, terutama dengan subjek–subjeknya sehingga bisa didapatkan komentar–komentar dan respon langsung dari narasumbernya (subjek film). Dengan deimikian subjek dalam film tersebut bisa menyampaikan pendapat dan pandangan mereka terhadap permasalahan yang diangkat oleh filmmaker-nya. Ketika di meja editing, pendapat–pendapat tersebut bisa disuguhkan secara berselang–seling sehingga menghasilkan pendapat yang saling mendukung satu sama lain atau sebaliknya, saling bertentangan satu sama lain. Oleh karena itu, di sini jelas bahwa wawancara dibuat bertujuan sebagai argumentasi filmmaker terhadap permasalahan yang diangkat dan tidak ada usaha untuk menjadi netral terhadap permasalahan tersebut.Tidak mudah bagi Michael Moore ketika membuat film Roger and Me (1989) untuk menyampaikan kepada penonton masalah ironi, kelucuan hingga kemarahan yang terkandung dalam film itu. Cerita yang diangkat adalah tentang kemeroston kehidupan kota Flint di Michigan di mana kota tersebut sudah sangat bergantung pada kehadiran General Motor di wilayah tersebut. Perusahaan itu bisa mengangkat perekonomian kota sedemikian rupa. Sampai ada keputusan dari Roger Smith sebagai kepala General motor, untuk memindahkan pabriknya ke Mexico karena buruh di sana bisa dibayar lebih murah sehingga bisa menekan biaya produksinya. Kemudian kota Flint berubah menjadi kota termiskin di Amerika Serikat dan terpuruk drastis secara ekonomi. Dalam film tersebut Michael Moore mewawancara Roger Smith serta mengajaknya untuk melihat lagi kota Flint setelah penutupan pabrik Genereal Motor. Editingnya dibuat berselang–seling antara wawancara dengan Roger Smith dengan wawancara dengan masyarakat setempat.
Film Super Size Me karya Morgan Spurlock mengangkat tentang dampak dari makanan ‘sampah’ (junk food) di Amerika Serikat. Salah satu perusahaan makanan cepat saji yang dijadikan eksperimen adalah Restoran McDonald. Awalnya di ceritakan Morgan Spurlock mengunjungi ahli kesehatan seperti dokter serta ahli gizi untuk memeriksakan kondisi tubuhnya, kemudian selama satu bulan penuh dia mengkonsumsi produk McDonald untuk makan pagi, makan siang hingga makan malam. Selama proses tersebut Morgan Spurlock merasakan perubahan pada tubuhnya, bahkan isterinya merasa bahwa daya tahan seksual dari suaminya menurun drastis. Benar saja ketika eksperimen selesai, para dokter dan ahli kesehatan yang dulu memeriksanya, mengeluarkan hasil test kesehatannya dan menunjukkan hasil yang sangat mencengangkan. Mulai dari kadar kolesterol dan gula yang tinggi di tubuhnya sampai beberapa hasil yang nilainya negatif.
Walaupun film–film dari tipe intercative ini memiliki muatan sosial yang kental, namun banyak pengamat yang mengkritisi karena dianggap banyak manipulasi terhadap peristiwa dan subjek serta sering terjadi kesalahan dalam penggambarannya. Karena aspek intervensi dan manipulasi ini, kemudian mengingatkan banyak pihak pada gerakan sinema di Perancis, Cinema Verite dengan tokohnya yang ternama, Jean Rouch dan Edgar Morin (film Chronique d’un Ete – 1961). Pada akhirnya gaya pembuatan dari Cinema Verite ini menjadi gaya yang sangat dominan di dalam pembuatan film dokumenter saat ini.
4. TIPE REFLEXIVE
Filmmaker dalam dokumenter reflexive sudah melangkah satu tahap lebih maju dibandingkan tipe interactive. Tujuannya untuk membuka ‘kebenaran’ lebih lebar kepada penontonnya. Tipe ini lebih memfokuskan pada bagaimana film itu dibuat artinya penonton dibuat menjadi sadar akan adanya unsur–unsur film dan proses pembuatan film tersebut, justru hal inilah yang menjadi titik perhatiannya.
Sebagai contoh adalah film A Man With A Movie Camera (1929) karya Dziga Vertov, selain memasukkan Mikhail Kaufman (sinematografer) yang sedang menggunakan kamera juga memperlihatkan bagaimana potongan–potongan gambar yang dia ambil kemudian dikonstruksi di meja editing. Bahkan dia juga menggunakan beberapa kemampuan teknik film seperti freeze frame, shot yang out of focus, superimpose (double-exposure technique), fast motion, slow motion, reverse motion dan lain sebagainya. Unsur – unsur teknis tersebut mengingatkan kepada penonton bahwa apa yang dilihatnya ada hasil dari sebuah konstruksi yang menggunakan media film. Tujuan Vertov adalah untuk menyuguhkan realitas kehidupan keseharian (bangun tidur, melahirkan, pergi kerja hingga aktivitas di tempat hiburan) menggunakan teknik yang radikal sehingga penontonnya sadar bahwa hal itu adalah sebuah pertunjukkan bernama film.
Sebagai tambahan, teori Vertov tentang penggambaran dalam film terbagi menjadi dua. Pertama, prinsip film truth (kino-pravda) yang membicarakan tentang bagaimana proses perekaman kehidupan keseharian sebagaimana adanya. Kedua, prinsip film eye (kino-glaz) yaitu prosedur bagaimana film dikonstruksi dengan menggunakan kemampuan teknis film seperti yang telah dijelaskan di atas. Vertov menganalogikan setiap shot dari filmnya itu seperti sebuah batu bata. Ketika seorang filmmaker membuat film, ibaratnya dia akan menata semua batu bata yang dia punya untuk dijadikan bangunan sesuai dengan keinginannya, bisa rumah biasa, vila, gedung bertingkat dan sebagainya. Prinsip terakhir ini oleh kolega Vertov yang bernama Vsevolod I. Pudovkin disebut dengan Constructive Editing.
5. TIPE PERFORMATIVE
Tipe film dokumenter ini berciri paradoksal, di mana pada satu sisi tipe ini justru mengalihkan perhatian penonton dari ‘dunia’ yang tercipta dalam film. Sedangkan sisi yang lain justru menarik perhatian penonton pada aspek ekspresi dari film itu sendiri. Tujuannya untuk merepresentasikan ‘dunia’ dalam film secara tidak langsung. Juga menciptakan suasana (mood) dan nuansa ‘tradisi’ dalam film yang cukup kental yaitu tradisi penciptaan subjek atau peristiwa dalam film fiksi. Aspek penciptaan tersebut bertujuan untuk menggambarkan subjek atau peristiwanya secara lebih subjektif, lebih ekspresif, lebih stylistik, lebih mendalam serta lebih kuat menampilkan penggambarannya. Subjek dan peristiwa tersebut dibuat secara baik dan terasa lebih hidup sehingga penonton dapat merasakan pengalaman dari peristiwa yang dibuat itu. Subjek dan peristiwa dibuat jauh lebih lengkap supaya penonton dapat merasakan perubahan dan variasinya.
Pendapat lain adalah seperti yang dipaparkan oleh Stella Bruzzi yang mngatakan bahwa tipe performative memberi ruang yang lebih luas bagi kebebasan berkreasi dalam bentuk abstraksi visual, naratif dan sebagainya. Menanggapi konsep dari Bill Nichols yang mengatakan bahwa tipe performative merupakan lawan langsung dari tipe observational, maka ia mengatakan bahwa tipe performative “menghadapkan masalah estetik dengan persoalan penerimaan penonton terhadap kebenaran yang disajikan. Juga hakekat dari dokumenter yang dihadapkan dengan masalah authorship. Sekali lagi posisi mereka berlawanan langsung dengan para penganut Direct Cinema yang selalu melihat diri mereka sebagai penngejar kebenaran.” (Bruzzi 2000)
Contoh dari tipe ini adalah film The Thin Blue Line (1988) karya Errol Morris yang menceritakan pembunuhan terhadap seorang polisi patroli dari Kepolisian Dallas yang bernama Robert Wood pada tahun 1976. Tersangka pelakunya seorang gembel bernama Randall Adams sementara saksi yang memberatkannya, bernama David Harris merupakan tersangka pembunuhan yang didakwa dengan hukuman mati. Siapa yang menembak Robert Wood dan bagaimana peristiwa itu terjadi, menjadi pertanyaan yang berkepanjangan. Peristiwa film ini direkonstruksi berdasarkan kesaksian para saksi yang mengaku melihat kejadian itu. Namun kesaksian tersebut banyak yang meragukan dan sering tidak konsisten dan hal tersebut yang kemudian dikonstruksi oleh Errol Morris. Uniknya sang sutradara menggambarkan fakta–fakta dari setiap kesaksian baru dan berlainan apalagi yang sifatnya tidak konsisten dengan cara merekonstruksi. Jadi film The Thin Blue Line tidak hendak memaparkan sebuah kenyataan, namun ingin berbicara tentang ingatan (memory), kebohongan dan ketidakkonsistenan dari kesaksian–kesaksian peristiwa.
Film lain sebagai contoh dari tipe film ini adalah Tongues Untied (1990) karya Marlon Riggs yang bercerita tentang pengalamannya sebagai seorang penari homoseksual keturunan African–American yang tinggal di kota New York.
Lima tipe dokumenter di atas merupakan klasifikasi dari Warren Buckland yang mengutip klasifikasi dari Bill Nichols, namun pada tulisan – tulisan di dunia maya serta beberapa pembahasan, maka muncul satu tipe film dokumenter lagi yang justru paling awal dibuat yaitu tipe poetic. Ada beberapa tokoh yang bisa disebutkan seperti Joris Ivens yang sempat membuat The Bridge dan Rain serta Walter Ruttman yang membuat Berlin City Symphony. Sedangkan sekitar tahun 1950-an muncul Bert Haanstra dengan karyanya seperti Panta Rhei.
6. TIPE POETIC
Pembuat film dokumenter awal di Eropa bisa dikatakan didukung oleh teori montage Soviet dan prinsip photogenie dari gerakan sinema Impressionisme Perancis. Dengan dua teori di atas, maka Bill Nichols nantinya akan menyebut dengan istilah tipe poetic. Pionir film dokumenter, Dziga Vertov pernah menggambarkan pendekatan dari tipe ini “Kami: Variant of a Manifesto” saat memproklamirkan kinochestvo (kualitas dari menjadi sinematik), “adalah seni mengorganisasi gerakan yang penting dari subjek–subjek film dalam ruangnya sebagai keseluruhan ritme artistik, di dalam keselarasan dengan unsur–unsur materialnya serta ritme internal dari tiap subjek.” (Michelson, O’Brien dan Vertov 1984)
Seperti yang dikatakan oleh Bill Nichols, bahwa film dokumenter tipe poetic cenderung memiliki interpretasi subjektif pada subjek–subjeknya. Pendekatan dari tipe ini mengabaikan kandungan penceritaan tradisional yang cenderung menggunakan karakter tunggal (individual characters) dan peristiwa yang harus dikembangkan. Editing dalam dokumenter poetic sangat nyata bahwa kesinambungan (continuity) tidak memiliki dampak apapun sebab dalam editingnya lebih mengeksplorasi asosiasi dan pola yang melibatkan ritme dalam waktu (temporal rhythms) dan jukstaposisi ruang (spatial juxtapositions).
Joris Ivens dalam film Rain / Regen (1929) merupakan salah satu yang menggunakan tipe poetic ini. Secara konsisten menyambung shot–shot yang tidak berhubungan untuk menggambarkan hujan yang mengguyur kota Amsterdam. Tipe poetic mengilustrasikan kesan subjektif tanpa kandungan argumentasi apapun. Hal ini sering dianggap sebafau sebagai salah satu gerakan garda depan (avant-garde).
Beberapa film yang kemudian dibuat dan masuk dalam tipe film ini adalah film trilogi dari Godfrey Reggio yaitu Koyannisqatsi (1982), Powaqqatsi (1988) dan Naqoyqatsi (2001); film – film karya Bert Haanstra yang lain seperti Mirror of Holland (1951), Glass (1958) dan Zoo (1961); serta film Baraka (1992) karya Ron Fricke yang tidak lain adalah sinematografer Geodfrey Reggio dalam beberapa filmnya.
Sumber: http://kusendony.wordpress.com/
Kusen Dony Hermansyah, M.Sn. adalah staf pengajar di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar